Berawaldari ide para putra Nahdlatul Ulama, yakni pelajar dan santri pondok pesantren untuk mendirikan suatu kelompok atau perkumpulan . • Di Bangil berdiri Ikatan Pelajar Islam Nahdlatul Ulama. Namun organisasi-organisasi yang telah berdiri di atas masih berjuang sendiri-sendiri dan tidak mengenal di antara satu sama lain. 29 KH. Abdul Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan, Taswirul Afkar, juga menjadi utusan ke Hijaz untuk menemui Raja Ibnu Suud karena itu beliau dalam organisasi NU dikenal sebagai . a. Pendiri Nahdlatul Ulama b. Pendobrak Nahdlatul Ulama c. Motor utama berdirinya Nahdlatul Ulama d. Penyelamat Nahdlatul Ulama 30. HasyimAsy’ari sangat nasionalis. Pada tahun 1924 para pemuda pesantren mendirikan Shubban al-Waṭhan (Pemuda Tanah Air). Organisasi pemuda itu kemudian menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) yang salah satu tokohnya adalah Kiai Muhammad Yusuf Hasyim. Selain itu dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) lahir laskar-laskar perjuangan fisik. Sementaraitu kakek dari pihak ibunya, K.H. Bisri Syamsuri, juga pengasuh pondok pesantren di Denanyar, Jombang dan pernah memangku jabatan Rais ‘Am pengurus besar Nahdlatul ‘Ulama. Kedua kakek Abdurrahman Wahid inilah yang merupakan tokoh dan kyai cikal-bakal pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul ‘Ulama (NU), disamping K.H.A. Wahab HabibSaggaf bin Mahdi bin Syekh Abu Bakar bin Salim Ulama Pesantren Nurul Iman Bogor. Profil Ulama. Biografi Habib Salim bin Abdullah As Syatiri. by Rozi; 2021-04-01; Gurunya para Ulama. by Budi; 2019-06-06; ulama dan cendekiawan muslim dikalangan Nahdlatul Ulama di kota Malang. Pesantren. Pesantren Al-Fattah Lamongan. by Budi; 2021 Bagiorganisasi Nahdlatul Ulama (NU), figur Hadratussyekh K.H. Hasyim Asy’ari menjadi sosok yang begitu dihormati. Sebagai seorang pemuka agam Islam, dirinya merupakan salah satu tokoh yang mendirikan organisasi tersebut pada 31 Januari 1926.Bersama Kiai Wahab Hasbullah, NU tampil menjadi kelompok yang berpengaruh di Indonesia. . Jakarta, NU Online Ketika para kiai pesantren mendirikan organisasi muncul dua usulan nama untuk perkumpulan mereka. Kedua-duanya secara prinsip memiliki makna sama dan dari bahasa sama pula. Namun memiliki implikasi yang berbeda. Usulan pertama disampaikan KH Abdul Hamid dari Sedayu Gresik. Ia mengusulkan nama Nuhudlul Ulama. Penjelasannya bahwa para ulama mulai bersiap-siap akan bangkit melalui wadah formal dia dikomentari KH Mas Alwi bin Abdul Aziz. Menurutnya, kebangkitan bukan lagi mulai atau akan bangkit, melainkan, sudah berlangsung sejak lama dan bahkan sudah bergerak jauh sebelum mereka mendirikan organisasi. Namun kebangkitannya tidak terorganisasi secara rapi. Maka, ia mengusulkan nama nahdlatul dari kata nahdlah yang diiringi ulama. Jadi, organisasi ini bernama Nahdlatul Ulama yang artinya kebangkita para ulama. Menurut Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar, dalam ilmu tata bahasa Arab, nahdlah adalah bentuk masdar marrah. Nahdlah dalam bentuk seperti itu maksudnya sekali bangkit dan berlangsung terus. Tidak sekali tumbuh, kemudian mati."Kalau nuhudl itu bisa saat itu kebangkitannya. Kalau nahdlah itu, sekali bangkit, untuk seterusnya, dan menurut ilmu nahwu kan jumlahnya, jumlah ismiyah, bukan jumlah fi’iyah. Jumlah fi’liyah itu faidahnya tajadud, bisa hidup, mati, hidup, mati, ada, tidak ada, ada, tidak ada, tapi kalau jumlah ismiyah itu istimrar, seterusnya, terus, harapannya ila yaumil qiyamah, Nahdlatul Ulama. Kiai Miftah menambahkan, setelah nahdlatul diikuti kata ulama karena kepangkatan dalam Islam setelah pangkat kenabian adalah ulama. Nabi Muhammad mengatakan al-ulama’u waratastul anbiya ulama adalah para ahli waris nabi. "Di dalam Al-Qur’an ada innama yakhsallahu min ibadihil ulama. Jadi, ulama itu suatu kepangkatan, martabat yang tertinggi setelah kenabian. Bahkan di dalam diri nabi pun ada makna ulama," jelasnya. Ia melanjutkan, ulama merupakan bentuk jamak dari kata alim yang berarti orang yang berilmu. Sementara itu di dalam ajaran Islam, ilmu mendapat kedudukan tinggi. "Semua bisa diselesaikan dengan ilmu. Semua bisa dicapai dengan ilmu. Bahkan ilmu dunia ilmu akhirat. Di Al-Qur'an disebutkan, orang-orang yang dianugerahkan ilmu itu derajatnya di atas orang yang beriman. Mukmin yang berilmu itu derajatnya melebihi mukmin biasa," tegasnya Ia menggarisbawahi, yang dimaksud ulama yang tinggi derajatnya adalah al-ulama al-amilin, orang yang alim yang mempraktikkan ilmunya. Di dalam Al-Qur'an disebutkan innama yakhsyallahu min ibadihhil ulama, yakni al-amilin."Saya kira itu penamaan yang sudah paling tepat, Nahdlatul Ulama. Bukan nuhudlul ulama," pungkasnya. Abdullah Alawi Ma’had Aly – Latar Belakang dan Motivasi Berdirinya Nahdlatul Ulama Nu Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim Asy’ari. Ayahnya bernama Asy’ari, terkadang akhiran Asy’ari juga ditulis Ashari. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan ke-VIII dari Jaka Tingkir Sultan Pajang. Beliau KH. Hasyim Asy’ari lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada Selasa Kliwon 24 Dzul Qa’dah 1287 H atau bertepatan 14 Februari 1871 M sekitar lingkungan Pesantren Kyai Utsman. Kiyai Utsman berasal dari Jepara yang silsilah keturunannya berasal dari Raja Brawijaya VI yang juga dikenal dengan sebutan Lembu Peteng Kakek ke-IX. Salah seorang putra Lembu Peteng bernama Jaka Tingkir atau disebut Karebet. Jaka Tingkir, adalah pemuda asal daerah Tingkir, desa yang terletak di sebelah tenggara Salatiga. Kiai Hasyim yang dikandung selama 14 bulan satu tahun dua bulan. Menurut pandangan orang Jawa, kandungan yang sangat panjang mengindikasikan cemerlangnya si bayi dalam berpikir di masa depan. Orang tuanya pun sangat yakin dengan isyarat tersebut karena sang Ibunda telah bermimpi bahwa bulan purnama jatuh dan menimpa tepat di atas perutnya. Setelah beliau lahir dan beranjak dewasa, kedua orang tua menyaksikan bakat kepemimpinan Hasyim kecil, yaitu pada saat ia bermain dengan anak-anak di lingkungannya. Ia selalu menjadi penengah kapanpun dia melihat ada peraturan permainan yang dilanggar oleh teman-temannya. Kiai Hasyim wafat pada 25 Juli 1947 dimakamkan di Tebuireng Jombang, beliau adalah Pendiri Nahdlatul Ulama, yaitu Organisasi Islam terbesar di Indonesia. Faktor Berdirinya NU Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926 M. Diadakan pertemuan penting di Kertopaten, tepatnya di kediaman KH. Wahab Chasbullah Surabaya, Jawa Timur, yang dihadiri oleh para kiai seluruh penjuru. Diantaranya Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy`ari Tebuireng, Jombang, KH. Bisri Syansuri Denanyar, Jombang, KH. R. Asnawi Kudus, KH. Nawawi Pasuruan, KH. Ridwan Semarang, KH. Ma`sum Lasem, Rembang, KH. Nahrawi Thohir Malang, H. Ndoro Muntaha Bangkalan, Madura, KH. Abdul Hamid Sedayu Gresik, KH. Abdul Halim Cirebon. Tujuan diadakannya pertemuan ini sebagai upaya mengatasi problem-problem potensial yang tengah dihadapi baik secara politik maupun keagamaan. Oleh karena itu, tema yang diangkat sebagai topik pembahasan bukan saja terkait isu lokal tentang masyarakat dan umat Islam di Indonesia, melainkan juga isu-isu internasional tentang apa yang terjadi di Timur Tengah. Isu tentang Raja Abdul Aziz bin Sa’ud di Mekkah yang telah berlebih-lebihan dalam menerapkan program pemurnian ajaran Islam. Hal itu dikhawatirkan akan berdampak mengganggu para jama’ah haji di Mekkah dan Madinah, untuk tidak mengizinkan melakukan upacara-upacara tertentu seperti, misalnya, memberikan penghormatan kepada makam nabi, juga akan takut campur tangan sang raja terhadap tradisi intelektual santri, yang telah cukup lama terlembagakan di tanah Hijaz. Maka berdirilah NU pada 31 Januari di Surabaya, karena terjadinya peristiwa di daerah Hijaz yang ingin mendirikan program pemurnian ajaran sebagai ideologi, terutama bagi kalangan pesantren yang memang secara teguh mempertahankan kehidupan agama dengan pola madzhab. Kemudian untuk menyikapi problem ini, digelarlah Kongres IV dan V umat Islam yang diselenggarakan di Yogyakarta, pada 21 s/d 27 Agustus 1925. Dan di Bandung, pada tanggal 16 Februari 1926, kongres ini dengan jelas diadakan untuk mencari input dalam menghadapi Kongres Islam di Arab. Tetapi, sayangnya, pada Kongres ini aspirasi pesantren sama sekali tidak tertampung dan tidak dijadikan sebagai pegangan dasar dalam merumuskan solusi. Kiai Wahab Chasbullah mengusulkan agar beberapa makam penting, mulai dari makam Rasulullah sampai makam para sahabat dan tempat bersejarah lainya agar dipelihara dengan baik. Namun karena usulan para ulama pesantren ini tidak termasuk agenda kongres maka usulan tidak tertampung, akhirnya atas prakarsa Kiai Wahab Chasbullah sendiri, para ulama pesantren mendirikan “Komite Hijaz” yang bertujuan menyampaikan aspirasi ulama pesantren kepada penguasa Arab Saudi. Dalam rapat yang digelar di Surabaya dan dihadiri para tokoh generasi awal NU ini diputuskan Pertama, membentuk organisasi Nahdlatul Ulama. Kedua, menunjuk KH. R. Raden Asnawi Kudus untuk berangkat ke Hijaz guna menyampaikan sikap serta pandangan para kiai pesantren yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama. Ketiga, menyampaikan rumusan sikap dan pandangan Nahdlatul Ulama atas persoalan keagamaan usulan itu berhasil dan diterima baik oleh Raja Saudi Ibnu Saud bahkan memberikan jaminan bahwa ia akan berusaha memperbaiki pelayanan ibadah haji sejauh perbaikan itu tidak melanggar aturan Islam aturan Islam versi pemahaman mereka tentunya. Pembubaran Komite Hijaz Misi yang diemban Komite Hijaz akhirnya berhasil. Kemudian mereka mengadakan rapat kembali. Agendanya antara lain untuk membubarkan “Komite Hijaz” tapi rencana itu dicegah oleh Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Beliau menghendaki agar Komite Hijaz itu diteruskan menjadi organisasi Kebangkitan Ulama atau Nahdlatul Ulama. Seiring dengan keadaan pada waktu itu bahwa beberapa kalangan muda juga sedang merintis pembentukan sebuah organisasi keagamaan yang misinya tidak lain untuk mengembangkan Islam Ahlussunah Wal Jamaah. Maka sejak itu, tepatnya di sebuah rumah di jalan Kebon Dalem Surabaya, dibentuklah Nahdlatul Ulama. Untuk menentukan anggaran dasarnya. Para Kiai meminta mas Sugeng Sekretaris Mahkamah Tinggi atau Buchroeh sedangkan Kiai Ridlwan dari Surabaya yang dianggap mempunyai darah seniman membuat lambang NU. Pembuatan Lambang NU oleh Kiai Ridlwan Surabaya Bermula dari persiapan penyelenggaraan Muktamar NU ke-2 di Surabaya, Kiai Ridlwan ditugaskan oleh Kiai Wahab Hasbullah untuk membuat lambang NU karena mengingat beliau pandai menggambar. Namun sampai setengah bulan beliau berusaha mencoba membuat sketsa lambang NU belum juga mendapat ilham, sedangkan muktamar sudah diambang pintu sehingga hal ini membuatnya mendapat teguran dari Kiai Wahab Chasbullah. Pada suatu malam dengan harapan muncul inspirasi, Kiai Ridlwan mengambil air wudhu kemudian melaksanakan shalat istikharah lalu beliau tertidur nyenyak. Dalam nyenyaknya tidur beliau bermimpi melihat sebuah gambar di langit yang biru dan jernih. Bentuknya mirip gambar lambang NU yang kini berlaku. Lalu akhirnya beliau serentak terbangun dan langsung secara spontan mengambil kertas dan pena membuat sketsa gambar sesuai dengan apa yang beliau lihat di mimpinya. Saat itu jam menunjukan pukul dini hari. Keesokan harinya gambar sudah selesai, lengkap dengan tulisan memakai huruf Arab dan tahun. Arti dari lambang Nahdlatul Ulama Sembilan bintang Bintang besar di tengah bagian atas adalah melambangkan Nabi Besar Muhammad Saw. Dua bintang kecil di samping kiri dan dua bintang kecil di samping kanan dari bintang besar, melambangkan empat Sahabat Khulafaur-rasyidin Empat bintang kecil di bagian bawah melambangkan madzhab yang empat. Keseluruhan jumlah bintang yang sembilan melambangkan Walisongo. Referensi Aziz Mansyhuri, 99 Kiai Kharismatik Indonesi, Bogor, Keira Publishing, 2017. Abdul Muchith Muzadi, NU dalam perspektif sejarah dan ajaran, Surabaya, Khalista, 2006. Sarkawi B. Husain, sejarah Masyarakt Islam Indonesia, Surabaya, Airlangga University, 2017. Muhlasin, “Biografi KH. Hasyim Asy’ari Pendiri NU Tebuireng Jombang”, diakses 28 November jam WIB Laode Ida ,NU Muda kaum Progresif dan Sekulerisme baru, Jakarta, Erlangga, 2004. Muhammad Sulton Fatori, BUKU pintar Islam Nusantara, Jakarta, pustaka IIMAN, 2017 Post Views 8,794 JAKARTA, - Hari ini, Selasa 7/2/2023, Nahdlatul Ulama menggelar Resepsi Hari Lahir 1 Abad. Kenduri akbar itu digelar di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Umum PBNU Yahya Cholil Staquf Gus Yahya, meminta agar warga Nahdliyin dan masyarakat yang ingin menghadiri Puncak Resepsi 1 Abad NU diniatkan untuk mengambil berkah. Perjalanan NU menjadi organisasi kemasyarakatan membentang dari masa kolonial Hindia Belanda. Gerakan itu dimulai dari sejumlah pesantren di Jawa Timur. Baca juga Jokowi dan Maruf Amin Kompak Hadiri Resepsi 1 Abad NU Pada 1916 , KH Wahab Chasbullah mendirikan organisasi pergerakan bernama Nahdlatul Wathon. Tujuannya adalah mempersiapkan umat Islam buat melakukan perjuangan fisik terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dua tahun kemudian, berdiri 2 organisasi lain yang mempunyai tujuan membangun umat Islam. Pertama adalah Taswirul Afkar atau Nahdlatul Fikri Kebangkitan Pikiran yang fokus dalam bidang pendudukan sosial-politik kaum santri, dan Nahdlatul Tujjar atau Kebangkitan Saudagar yang bertujuan memperkuat ikatan di antara para pengusaha Muslim. Baca juga Kedatangan Presiden Jokowi di Acara Peringatan Seabad NU Disambut Hadrah dan Selawat Ulama KH Hasyim Asy'ari melihat problematika umat Islam saat itu semakin kompleks. Maka dari itu dia kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926 dengan tujuan membangun umat Islam dari segi sosial, politik, ekonomi dan berdaulat dan merdeka dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Karena upayanya mendirikan NU, KH Hasyim Asy'ari kemudian diberi gelar Rais Akbar. Berikut ini profil singkat 3 ulama pendiri NU. 1. KH Hasyim Asy'ari Kominfo KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy'ari lahir pada 14 Februari 1871 di Gedang, Jombang, Jawa Timur. Ia adalah putra ketiga dari pasangan Kiai Asy'ari dan Nyai Halimah. Setelah mengenyam pendidikan di Jawa dan Mekkah, ia kemudian mendirikan NU bersama beberapa tokoh Islam lainnya di Jawa Timur. Selain menjadi salah satu tokoh pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari juga dikenal sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia. Perjuangannya melawan penjajahan terhadap Indonesia diterapkan melalui pendidikan dengan mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang. Baca juga 1 Abad NU Hari Ini Beragam Kegiatan Sepanjang Hari, Semua Boleh HadirTebuireng dianggapnya sebagai simbol perlawanan atas modernisasi dan industrialisasi penjajah yang memeras sumber daya rakyat. Bahkan KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa haram bagi rakyat Indonesia saat itu yang pergi haji dengan fasilitas dari Belanda. KH Hasyim Asy'ari merupakan ayah dari KH Wahid Hasyim yang merupakan salah satu pahlawan nasional yang merumuskan Piagam Jakarta. Selain itu, dia adalah kakek dari Presiden Republik Indonesia ke-4, KH Abdurrahman Wahid. Dia wafat pada 25 Juli 1947 dan dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng. Baca juga Resepsi 1 Abad NU, Panitia Sebut Belasan Ribu Banser dan Ribuan Aparat TNI-Polri Siap Amankan 2. KH Abdul Wahab Hasbullah IKPNI KH Abdul Wahab Hasbullah KH Abdul Wahab Hasbullah adalah salah satu ulama yang juga berperan dalam mendirikan NU, selain KH Hasyim Asy'ari. KH Abdul Wahab Hasbullah mendirikan media massa atau surat kabar "Soeara Nahdlatul Oelama" dan "Berita Nahdlatul Ulama". Beliau lahir di Jombang pada 31 Maret 1888 dan tumbuh menjadi seorang ulama yang memiliki pandangan modern. Baca juga Resepsi 1 Abad NU, Ruas Jalan Menuju Stadion Gelora Delta Sidoarjo Dipadati Jemaah Nahdliyin Ia adalah ulama yang memelopori kebebasan berpikir untuk kalangan umat Islam di Indonesia. Pemikiran itu ia tuangkan dengan mendirikan kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar di Surabaya pada 1941. Seiring berjalannya waktu, kelompok diskusi ini berkembang dan sangat populer di kalangan pemuda dan bahkan menjadi ajang komunikasi dan tukar informasi antartokoh nasional. 3. KH Bisri Syansuri Dok. NU KH Bisri Syansuri. KH Bisri Syansuri lahir di Tayu, Pati, Jawa Tengah, pada 18 September 1886 dari pasangan Syansuri dan Mariah. KH Bisri Syansuri merupakan tokoh pergerakan yang bersama KH Abdul Wahab Hasbullah mendirikan kelompok diskusi Taswirul Afkar di Surabaya. Selain itu, ia juga berperan aktif dalam musyawarah hukum islam yang sering berlangsung di lingkungan pondok pesantren hingga akhirnya membentuk NU. Baca juga GKI Sidoarjo Sediakan Tempat Istirahat dan Nobar Puncak Resepsi Satu Abad NU Di dalam NU, KH Bisri Syansuri berupaya mengembangkan rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintisnya di berbagai tempat. Itulah tiga tokoh ulama yang berperan mendirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama NU yang sekaligus menjadi tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. p> The article endeavors to trace power relationship between muslim religious leaders ulama and islamic boarding school pesantren in the political dynamics of Nahdlatul Ulama NU. Both entity are not only an essential element needed to pressure political and cultural for NU, but also the National Awakening Party PKB as a political party for nahdliyyin. The existence of organizational conflicts that occurred in the PKB also influence the dynamics of the NU that resulted fragmentation among ulama and pesantren. The implication is there a divergence of politics and culture among ulama and pesantren in the base region of Central Java and East Java. Abstract The existence of ulama and dayah in political dynamics in Aceh has occurred for a long time, simultaneously with the development of Islam in Aceh. Ulama in Aceh has been playing as the main actors behind the successful political indicator in many phases, namely; empire phase, independence phase, new order orde baru phase until the phase of reformation. The doctrines played by ulama through religious languages have received great support from people in Aceh. This study employs the qualitative research approach with three main techniques of data collection, namely interview, observation and documentation. The result showed that there has been the participation from ulama and santri dayah in Aceh during 2019 General Election GE. Such participation was reflected from the full support from ulama by calling up the political machine from santri dayah during 2019 GE, and deciding a political attitude by taking side on one of the candidates by holding a fundamental belief that Islam does not forbid ulama to participate in the political practice. Abstrak Eksistensi ulama dan dayah dalam dinamika perpolitikan di Aceh telah berlangsung sejak lama, seiring berkembangnya Islam di Aceh. Dari berbagai fae perkembangan perpolitikan di Aceh, dari fase kerajaan, fase kemerdekaan, fase orde baru hingga fase reformasi telah ditemukan pula indikator suksesnya politik di Aceh akibat permainan aktor utama yaitu ulama . Ulama melalui doktrin-doktrin yang disebarkan melalui bahasa-bahasa agama, sehingga mendapat dukungan penuh dari kalangan masyarakat di Aceh. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data tiga macam cara yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat partisipasi ulama dan santri dayah di Aceh pada Pemilu 2019. Partisipasi tersebut tampak terhadap dukungan penuh ulama dengan mengerahkan “mesin politik” yaitu santri dayah terhadap Pemilu 2019, dan mengambil sikap politik berpihak kepada salah satu calon dalam Pemilu 2019 dengan landasan utama berpijak bahwa Islam tidak melarang ulama berpolitik. Keywords ulama, santri, dayah, politics, general election, AcehTaufik AlaminSince the thirteenth century AD, the presence of a new model of Sufism, neo-Sufism, has impacted the infiltration of political identity in the spiritual flow of the tarekat practicing society. The spiritual world of Sufism has experienced a paradigm shift in thinking, from what was originally a movement that balances the hereafter and the worldly things, but in the end this movement is also considered very pragmatic-contextual that enters the socio-political dimension. This article wants to provide a new understanding of how the balanced relationship between Sufism and politics occurs in the Mataraman community, Kediri, East Java. By using the non-participant observer technique, this article produces two things first, the political culture formed in the Kediri Mataraman society has a centralized pattern, where both tarekat congregations and ordinary people devote themselves to any field of social problems to a kiai. Sufi kiai becomes the main role models because they are considered pious people for the Mataraman community. This recognition of the Sufi kiai figure forms a group of socio-political systems. Second, the political pyramid that developed in the people of Kediri City follows a hierarchical-centralized pyramid pattern, where the kiai/murshid tarekat are ordained as the movers and creators of the foremost political culture after the Kediri city government and business bureaucrats. This pattern of social structure becomes the link so that leadership can be achieved and become the material for formulating political the research into Junaid Sulaeman as the most famous Islamic Cleric in South Sulawesi was extensively undertaken, little empirical research addressed his political biography. This research aimed to explore his political Hijrah from Islamic fundamentalism to Islamic moderate. This research adopted a biography study design. To collect data, a documentary analysis based on Junaid Sulaeman’s diary and in-depth interview were conducted. The data analysis was carried out thematically using Azra’s and Al-Jauhari’s concept of fundamental and moderate Islam. The research revealed three findings. First, Junaid Sulaeman’s political Hijrah was conducted from Darul Islam toward Golongan Karya party. Second, the factors that drove Junaid Sulaeman’s participation in the political movement included the changing of socio-political context, the breadth and depth of his religious knowledge, the need to get Allah's guidance, and the consideration of dawah. Third, the implications of Junaid Sulaeman's political movement were known from the expansion of his local and national network, as well as the development of socio-religious institutions in Bone. The research concluded that a good cooperation between the ulama and the government could provide more benefits and blessings to the Law Number 16 of 2019 concerning Amendments to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage raises the minimum age limit for brides from 16 years to 19 years. Responding to this issue, LBM MWC NU Batanghari East Lampung held a bahtsul-masail forum for istinbath al-hukm. Using a qualitative-participatory approach, this article examines the dynamics of the arguments in the forum and finds three crucial issues First, is balig was a prerequisite for a bride and groom? Second, was Aisyah's early marriage common or special? Third, does the State have the authority to restrict marriages? The pro-authority argument rests on the adage of state policy tasharruf al-imam based on maslahah 'ammah. On this basis, the State has the right to prohibit mubah man 'al-mubah, let alone regulating mubah taqyid al-mubah. Meanwhile, the counter argument is based on the privilege of wali as the holder of the right to marry off bride based on nash sharih so the qadhi judge and amir State are no longer authorized. However, the contra camp still affirms the a quo Law because there is marriage dispensation as an exit to achieve individual maslahah. Keywords Indonesia Law Number 16 of 2019, the State's authority, minimum age of bridge, LBM NU, marriage dispensation. Abstrak UU Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menaikkan batas usia minimal calon pengantin 19 tahun pria dan 16 tahun wanita menjadi 19 tahun untuk semua. Menanggapi isu ini, LBM MWC NU Batanghari Lampung Timur menggelar forum bahts al-masail untuk istinbath al-hukm. Dengan pendekatan kualitatif-partisipatif artikel ini mengkaji dinamika argumen dalam forum tersebut dan menemukan tiga isu krusial Pertama, apakah status balig merupakan syarat calon pengantin? Kedua, apakah pernikahan dini Aisyah berlaku umum atau khushusiyah? Ketiga, apakah negara berwenang membatasi perkawinan? Argumentasi pro-kewenangan berpijak pada adagium kebijakan negara tasharruf al-imam berpijak kepada maslahah 'ammah. Dengan basis ini, negara berhak melarang mubah man' al-mubah, apalagi mengatur mubah taqyid al-mubah. Sedangkan argumentasi kontra berpijak pada previlige wali sebagai pemegang hak menikahkan perempuan dengan berlandas nash sharih sehingga qadhi hakim dan amir negara tidak lagi berwenang. Namun, kubu kontra masih mengafirmasi UU a quo karena ada dispensasi nikah sebagai pintu keluar mencapai maslahah individu. Muhammad MuhammadThe aim of article to descriptive relationship between Nahdhatul Ulama institution and change of political culture in Indonesia. The first, explore many terminology of political culture, type of political culture and political behavior. Secondly, this article to analysis ideology of Nahdhatul Ulama and democracy. The last, this article recommended the new role of Nahdhatul Ulama to contribution in change of political culture in Indonesia. Purwo SantosoReligion plays an important but problematic role in complying with the prevailing global standard of liberal democracy. The root of the problem is actually the shortcut in institutionalizing political party as a modern set up for individual participation in public affairs. Despite its institutional defect, political parties officially serve as the only legitimate channel to enter the state through open competition. Hence, the need to win election resulted in mobilization of religious-based support, and religion serves more as commodity for solidarity making, rather than set of fundamental values. This paper examines the political pactices in bringing the principles of both democracy and religion into daily real life. It particularly focuses on the exercises of commoditizing religion by political parties. This commoditization of religion can be taken as clear evidence, the paper argues, that religion is ill-treated by the underperforming political Kiai dalam Dinamika Politik NU. KarsaDaftar Pustaka AbdurrahmanDaftar Pustaka Abdurrahman. 2009. Fenomena Kiai dalam Dinamika Politik NU. Karsa. Volume 15, Nomor 1 dan Perkembangan Nahdlatul UlamaChoirul AnamAnam, Choirul. 1999. Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama. Surabaya Bisma Satu Ulama Dalam "KonflikSayfa AchidstiDan TradisiRekonsiliasiAchidsti, Sayfa. 2010. Nahdlatul Ulama Dalam "Konflik", Tradisi, dan Rekonsiliasi. Fikra. Volume 1, Nomor 3 Patricians of NishapurRichard BulietBuliet, Patricians of Nishapur. Cambridge Harvard University Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup KyaiZamakhsyari DhofierDhofier, Zamakhsyari. 1984. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta Sosial Politik Kyai di IndonesiaMiftah FaridlFaridl, Miftah. 2007. Peran Sosial Politik Kyai di Indonesia. Jurnal Sosioteknologi. Volume 6, Nomor 11 dan Perubahan SosialHiroko HorikoshiHorikoshi, Hiroko. 1987. Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta LP3ES. Dalam perhitungan tahun Masehi, 31 Januari 2021 mendatang, Nahdlatul Ulama NU bakal mencapai usia 95 tahun. Tak sedikit peran besar NU untuk mengisi kehidupan keagamaan, sosial-kemasyarakatan, maupun kebangsaan dan kenegaraan menjadi lebih ramah bagi masyarakat yang plural di Indonesia bahkan dunia. Peran luas NU sudah dicita-citakan sedari awal dideklarasikan pada 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344. Pembentukan jam’iyyah NU tidak lain adalah sebagai upaya pengorganisasian potensi dan peran ulama pesantren yang sudah ada untuk ditingkatkan dan dikembangkan lebih luas lagi. Keinginan untuk meningkatkan pengabdian secara luas itu terlihat jelas pada rumusan cita-cita dasar di awal berdirinya NU yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk ikhtiar sebagai berikut “Mengadakan perhoeboengan di antara Oelama-oelama jang bermadzhab, soepaja diketahoei apakah itoe dari kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama’ah atau kitab-kitab Ahli Bid’ah. Menjiarkan agama Islam berazaskan pada madzhab empat dengan djalan apa sadja jang baik, berikhtiar memperbanjak madrasah-madrasah jang berdasar agama Islam, memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masdjid-masdjid, soeraoe-soeraoe, dan pondok-pondok, begitoe joega dengan hal ihwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin, serta mendirikan badan-badan oentoek memajoekan oeroesan pertanian, perniagaan jang tiada terlarang oleh sjara’ agama Islam.” Statuen Perkoempoelan Nahdlatoel Oelama tahun 1926 pasal 3, halaman 2-3 dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Choirul Anam, 2010 18 Dengan kata lain, didirikannya NU adalah untuk menjadi wadah bagi usah mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama pesantren dalam rangka tugas pengabdian yang tidak lagi terbatas pada soal kepesantrenan dan kegiatan ritual keagamaan semata. Tetapi lebih ditingkatkan lagi pada kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, dan persoalan kemasyarakatan pada umumnya. Rumusan ikhtiar tersebut merupakan prioritas penting untuk dilaksanakan, baik pada saat NU dideklarasikan maupun hingga saat ini mengingat problem sosial-kemasyarakatan jauh lebih kompleks. Di titik itulah NU dapat didefinisikan bahwa NU adalah Jam’iyyah Diniyyah Ijtima’iyyah organisasi sosial keagamaan Islam yang didirikan oleh para ulama pesantren -pemegang teguh salah satu madzhab empat- berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah ala madzahibil arba’ah -tetapi juga memperhatikan masalah-masalah sosial, ekonomi, perdagangan, pertanian, dan sebagainya dalam rangka pengabdian kepada bangsa, negara, dan umat manusia. Choirul Anam, 2010 19 Berdirinya NU merupakan rangkaian panjang dari sejumlah perjuangan. Karena berdirinya NU merupakan respons dari berbagai problem keagamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan dan sosial-masyarakat. Digawangi oleh KH Abdul Wahab Chasbullah, sebelumnya para kiai pesantren telah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Wathan atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916 serta Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar pada 1918. Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya, yaitu pada 1914 juga mendirikan kelompok diskusi yang ia beri nama Tashwirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran, ada juga yang menyebutnya Nahdlatul Fikr atau kebangkitan pemikiran. Dengan kata lain, NU adalah lanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya, namun dengan cakupan dan peran yang lebih luas. Peran yang tidak kalah penting ialah perjuangan ulama pesantren dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah hingga mencapai kemerdekaan bagi seluruh bangsa Indonesia. Penulis Fathoni Ahmad Editor Muchlishon

apa motivasi para ulama pesantren mendirikan organisasi nahdlatul ulama